Upacara kelahiran adat
maluku
Ketika seorang perempuan yang masa kehamilannya
telah mencapai 9 bulan, maka ia akan diantar oleh irihitipue (dukun
beranak) dan kaum perempuan yang ada di dalam rumah atau tetangga yang telah
dewasa menuju ke posuno. Pada waktu perempuan tersebut berada di depan pintu
posuno, irihitipue membancakan mantra-mantra yang berfungsi sebagai penolak
bala. Mantra tersebut dibaca oleh irihitipue dalam hati (tanpa bersuara) dengan
tujuan agar tidak dapat diketahui oleh orang lain, karena bersifat sangat
rahasia. Hanya irihitipue dan anggota keluarga intinya saja yang mengetahui
mantra tersebut.
Selesai membaca mantra, perempuan hamil tersebut diantar masuk ke dalam posuno.
Rombongan kemudian pulang meninggalkan wanita tersebut. Dia setiap saat dikunjungi
oleh irihitipue untuk memeriksa keadaan dirinya. Semua keperluan wanita hamil
ini dilayani oleh wanita-wanita kerabatnya. Sebagai catatan, dia akan tetap
berdiam disitu tidak hanya sampai selesainya upacara kehamilan 9 bulan, tetapi
sampai tiba saat melahirkan hingga 40 hari setelah melahirkan.
Setelah si perempuan hamil berada di posuno, maka pihak keluarga akan
memberitahukan kepada seluruh perempuan dewasa dari kelompok kerabat (soa)
perempuan hamil tersebut dan dari kelompok kerabat suaminya untuk berkumpul di
rumah perempuan tersebut dan selanjutnya pergi menuju ke posuno untuk mengikuti
upacara masa hamil sembilan bulan. Sebelum mereka menuju ke posuno, para
perempuan dewasa tersebut akan berkumpul berkeliling di dalam rumah untuk
memanjatkan doa kepada Upu Kuanahatana agar si perempuan yang sedang hamil
selalu dilindungi dan terbebas dari pengaruh roh-roh jahat.
Usai memanjatkan doa di dalam rumah, mereka menuju ke posuno bersama-sama dan
dipimpin oleh irihitipue. Setelah sampai di posuno, mereka kemudian duduk
mengelilingi si perempuan hamil tersebut, sedangkan irihitipue mendekati si
perempuan dan duduk di sampingnya. Perempuan hamil tersebut kemudian
dibaringkan oleh irihitipue lalu diusap-usap perutnya sambil irihitipue
mengucapkan mantra-mantra yang tujuannya adalah untuk memohon keselamatan dan
perlindungan dari Upu Kuanahatana. Pada saat irihitipue mengusap-usap perut
perempuan hamil tersebut, para kerabatnya yang duduk mengelilingi pun juga
memanjatkan doa-doda kepada upu kuanahatana.
Dengan selesainya pembacaan mantra, maka selesailah pula pelaksanaan upacara
masa kehamilan sembilan bulan. Para kerabat dan irihitipue kemudian pulang ke
rumah masing-masing. Sementara si perempuan hamil tetap tinggal di posuno
hingga melahirkan dan 40 hari setelah masa melahirkan. Untuk keperluan makan
dan minum selama berhari-hari di posuno, pihak kerabatnya sendiri (soanya) akan
selalu mengantarkan makanan dan minuman kepadanya.
5. Nilai Budaya
Ada beberapa nilai yang terkandung dalam upacara masa kehamilan sembilan bulan.
Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, gotong-royong, keselamatan,
dan religius.
Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian besar anggota keluarga
dan masyarakat dalam suatu tempat (pada saat acara pesta suu anaku) untuk makan
bersama. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam
lingkungannya. Dalam hal ini, kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai
wilayah, adat-istiadat dan budaya yang sama.
Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam
penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam
hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman bagi perempuan yang
hamil dan menjadi pemimpin upacara.
Nilai keselamatan tercermin dalam adanya kepercayaan bahwa pada masa usia
kehamilan yang telah mencapai sembilan bulan adalah masa yang dianggap kritis
bagi seorang perempuan, karena pada masa inilah ia dan bayi yang dikandungkan
rentan terhadap bahaya-bahaya gaib yang berasal dari roh-roh jahat yang dapat
berakibat buruk pada keselamatan dirinya sendiri maupun bayinya. Untuk
mengatasi gangguan-gangguan roh-roh halus tersebut, maka perlu diadakan suatu
upacara untuk mencari keselamatan keselamatan pada tahap peralihan dari masa di
dalam kandungan menuju ke kehidupan di dunia.
Nilai religius tercermin dalam doa bersama yang dilakukan oleh kelompok kerabat
perempuan, baik sebelum berangkat ke posuno maupun pada saat berlangsungnya
upacara. Tujuannya adalah agar sang bayi mendapatkan perlindungan dari Upu
Kuanahatana dan roh-roh para leluhur. (ali gufron)
Upacara
kematian adat maluku
Dalam kehidupan masyarakat Ternate,
bila ada salah satu warga masyarakat yang meninggal dunia, biasanya dikabarkan dari
mulut ke mulut kepada keluarga, saudara dan kerabat. Walau berita duka ini
disebarluaskan dengan cara demikian, namun kabar tersebut sangat cepat tersiar
ke seluruh kalangan, di tempat kerja, kantor, pasar, bahkan terhadap sanak
family yang berada di tempat lain dan di pulau-pulau. Demikian pula setelah
teknologi Cellular (HP) merambah dalam keseharian masyarakat Ternate,
menjadikan semua informasi menjadi serba instan termasuk berita duka.
Setelah mendengar berita duka ini diketahui, warga
masyarakat mulai berdatangan ke rumah duka, terutama wagra di kampong tersebut
berbondong-bondong berkumpul. Kegiatan pertama yang biasanya dilakukan adalah
menyiapkan tenda yang dalam bahasa Ternate disebut “Sabua”
di depan dan di belakang rumah duka. Sementara warga yang lainnya menyiapkan
liang kubur. Sedangkan kesibukan dalam rumah duka sendiri adalah menyiapkan
kebutuhan untuk pemakaman seperti ; kain kafan, peralatan memandikan mayat,
serta kebutuhan lain yang berhubungan dengan pemakaman.
Sementara itu, kaum ibu-ibu datang membawa sembako
seadanya untuk disumbangkan ke rumah duka yang akan dijadikan bahan baku
konsumsi, berupa; beras, terigu, gula pasir, teh, dsb. Kaum ibu-ibu biasanya
saat datang mulai menyiapkan dan membentuk semacam dapur umum di belakang rumah
duka, bahkan di rumah tetangga kiri dan kanan untuk menyiapkan makan semua
pelayat yang datang pada saat itu untuk makan setelah selesai upacara
pemakaman. Kegiatan ibu-ibu ini dikenal dengan tradisi “Lian”
atau sering disebut “Lilian”. Tradisi Lian ini merupakan salah satu dari bentuk
gotong-royong dalam masyarakat Ternate.
Sedangkan kaum bapak mempersiapkan
semua kebutuhan pemakaman yang sudah menjadi “Fardu Kifayyah” bagi umat
muslim yakni untuk memandikan mayat, mengkafani, men-sholat-kan lalu kemudian
segera menguburkan jenazah secara layak menurut syariat Islam.
Biasanya sebelum dilakukan pemakaman, ada musyawarah keluarga untuk menentukan
masih adakah kerabat almarhum terutama anak kandung yang harus ditunggu
kehadirannya sebelum pemakaman dilaksanakan. Hal ini sering terjadi mengingat
tidak semua anggota keluarga berada di Ternate saat menjelang wafat. Bila
keputusannya harus ditunggu, maka upacara pemakaman akan ditunda beberapa jam,
namun dalam musyawarah tersebut diputuskan untuk tidak menunggu, maka akan
segera dilaksanakan pemakaman.
Sebelum jenazah dikeluarkan dari rumah duka, biasanya dilakukan semacam
seremonial yang dipimpin oleh salah satu yang mewakili tuan rumah. Setelah
memberikan sedikit kata pengantar, diharapkan kepada seluruh warga yang hadir
pada saat itu untuk memberikan maaf kepada almarhum sekaligus mengikhlaskan
utang-piutangnya semasa hidupnya.
Dalam masyarakat Ternate, setiap warga muslim yang meninggal dan hendak diarak
menuju pemakaman biasanya diiringi dengan alunan “Laa ilaaha illallah hu
laa ilaaha illallah, Laa ilaaha illallah Muhammadar Rasullullah ” yang
diucapkan secara terus menerus oleh seruruh pelayat sejak dari rumah duka
hingga sampai di lokasi liang kubur. Irama alunan ini-pun khas dan hanya
dilantunkan pada saat mengantarkan mayat ke kubur. Kebiasaan ini oleh
masyarakat Ternate disebut dengan “Kalmaha”. Bagi masyarakat
Ternate, alunan dan irama Kalmaha ini merupakan suatu tanda berkabung, dan
setiap orang yang mendengar Kalmaha pasti terharu, sedih bahkan banyak yang
meneteskan air mata duka atas perginya sang kerabat untuk selamanya.
Pemakaman dilaksanakan sebagaimana biasanya orang muslim Indonesia
melakukannya. Hanya saja ada kebiasaan tertentu yang mungkin berbeda dengan
daerah lain di Indonesia ini. Contoh misalnya; setelah mayat diturunkan ke
liang lahat, kain putih yang dijadikan seprei pada saat mayat ditandu
dihamparkan menutupi ke permukaan liang lahat yang ditarik keempat ujung kain
tersebut menutupi liang lahat, sehingga hampir tidak ada yang melihat aktifitas
yang dilakukan oleh petugas dalam liang lahat. Ada satu kebiasaan lagi yaitu;
setelah mayat diletakkan di dalam liang lahat, dan setelah tali pocong
dilepaskan kemudian mayat yang terbaring dihadapkan menghadap kiblat, maka saat
itu juga salah satu dari petugas yang berada di dalam liang lahat
mengumandangkan azan dari awal hingga akhir.
Kalau ditanya mengapa demikian ? Mereka berargumen bahwa pada saat kita lahir
ke dunia ini, suara yang pertama kali didengarkan di telinga kita adalah suara
azan sehingga pada saat kita meninggal dunia dan hendak dikuburkan di liang
lahat sebelum ditimbun dengan tanah, azan-pun harus dikumandangkan. Menurut
mereka, hal ini mengandung makna bahwa kita manusia hidup di dunia ini berada
diantara dua azan, yaitu azan awal dan azan akhir.
atu lagi tradisi lama masyarakat Ternate, adalah tali pocong
tersebut dibawa pulang ke rumah duka, kemudian dipotong dan diikat seperti
gelang di setiap tangan kerabat dekat almarhum, sebagai tanda duka. Tali pocong
ini tidak bias dilepas kecuali nanti setelah “Hoi Gunyihi” yaitu setelah
11 hari meninggal. Tradisi dan kebiasaan tersebut saat ini sudah jarang
dilakukan oleh masyarakat di kota Ternate, namun di daerah tertentu masih
melakukannya.
Setalah upacara pemakaman selesai, seluruh pelayat kembali ke rumah duka untuk
melaksanakan santap bersama dengan keluarga yang berduka yang sejak dari tadi
disiapkan oleh kaum ibu-bu. Makna dari makan bersama ini adalah bertujuan
menghibur keluarga yang berduka kare ditinggal almarhum.
Setelah itu, sebagian pelayat kembali ke rumahnya masing-masing, namun masih
ada sebagian yang masih berkumpul di rumah duka untuk mempersiapkan kue-kue
untuk konsumsi pada acara Tahlilan hari pertama pada menjelang malam hari
nanti. Tahlilan terhadap kematian seseorang di dalam masyarakat Ternate dikenal
dengan sebutan “Tahlil Sone ma-Dina”.
Tahlilan malam pertama ini dikenal dengan “Sone
ma-Dina – Futu Rimoi” (Tahlilan Malam ke-1). Inti dari
tulisan ini adalah pembahasan tentang masalah ini. Sedangkan uraian tersebut di
atas adalah pengantar dan gambaran tentang tradisi seputar saat hari kematian.