Selasa, 29 Januari 2013

ritual adat prov.Maluku



Upacara kelahiran adat maluku


Ketika seorang perempuan yang masa kehamilannya telah mencapai 9 bulan, maka ia akan diantar oleh irihitipue (dukun beranak) dan kaum perempuan yang ada di dalam rumah atau tetangga yang telah dewasa menuju ke posuno. Pada waktu perempuan tersebut berada di depan pintu posuno, irihitipue membancakan mantra-mantra yang berfungsi sebagai penolak bala. Mantra tersebut dibaca oleh irihitipue dalam hati (tanpa bersuara) dengan tujuan agar tidak dapat diketahui oleh orang lain, karena bersifat sangat rahasia. Hanya irihitipue dan anggota keluarga intinya saja yang mengetahui mantra tersebut.

Selesai membaca mantra, perempuan hamil tersebut diantar masuk ke dalam posuno. Rombongan kemudian pulang meninggalkan wanita tersebut. Dia setiap saat dikunjungi oleh irihitipue untuk memeriksa keadaan dirinya. Semua keperluan wanita hamil ini dilayani oleh wanita-wanita kerabatnya. Sebagai catatan, dia akan tetap berdiam disitu tidak hanya sampai selesainya upacara kehamilan 9 bulan, tetapi sampai tiba saat melahirkan hingga 40 hari setelah melahirkan.

Setelah si perempuan hamil berada di posuno, maka pihak keluarga akan memberitahukan kepada seluruh perempuan dewasa dari kelompok kerabat (soa) perempuan hamil tersebut dan dari kelompok kerabat suaminya untuk berkumpul di rumah perempuan tersebut dan selanjutnya pergi menuju ke posuno untuk mengikuti upacara masa hamil sembilan bulan. Sebelum mereka menuju ke posuno, para perempuan dewasa tersebut akan berkumpul berkeliling di dalam rumah untuk memanjatkan doa kepada Upu Kuanahatana agar si perempuan yang sedang hamil selalu dilindungi dan terbebas dari pengaruh roh-roh jahat.

Usai memanjatkan doa di dalam rumah, mereka menuju ke posuno bersama-sama dan dipimpin oleh irihitipue. Setelah sampai di posuno, mereka kemudian duduk mengelilingi si perempuan hamil tersebut, sedangkan irihitipue mendekati si perempuan dan duduk di sampingnya. Perempuan hamil tersebut kemudian dibaringkan oleh irihitipue lalu diusap-usap perutnya sambil irihitipue mengucapkan mantra-mantra yang tujuannya adalah untuk memohon keselamatan dan perlindungan dari Upu Kuanahatana. Pada saat irihitipue mengusap-usap perut perempuan hamil tersebut, para kerabatnya yang duduk mengelilingi pun juga memanjatkan doa-doda kepada upu kuanahatana.

Dengan selesainya pembacaan mantra, maka selesailah pula pelaksanaan upacara masa kehamilan sembilan bulan. Para kerabat dan irihitipue kemudian pulang ke rumah masing-masing. Sementara si perempuan hamil tetap tinggal di posuno hingga melahirkan dan 40 hari setelah masa melahirkan. Untuk keperluan makan dan minum selama berhari-hari di posuno, pihak kerabatnya sendiri (soanya) akan selalu mengantarkan makanan dan minuman kepadanya.




5. Nilai Budaya

Ada beberapa nilai yang terkandung dalam upacara masa kehamilan sembilan bulan. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, gotong-royong, keselamatan, dan religius.

Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian besar anggota keluarga dan masyarakat dalam suatu tempat (pada saat acara pesta suu anaku) untuk makan bersama. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya. Dalam hal ini, kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai wilayah, adat-istiadat dan budaya yang sama.

Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman bagi perempuan yang hamil dan menjadi pemimpin upacara.

Nilai keselamatan tercermin dalam adanya kepercayaan bahwa pada masa usia kehamilan yang telah mencapai sembilan bulan adalah masa yang dianggap kritis bagi seorang perempuan, karena pada masa inilah ia dan bayi yang dikandungkan rentan terhadap bahaya-bahaya gaib yang berasal dari roh-roh jahat yang dapat berakibat buruk pada keselamatan dirinya sendiri maupun bayinya. Untuk mengatasi gangguan-gangguan roh-roh halus tersebut, maka perlu diadakan suatu upacara untuk mencari keselamatan keselamatan pada tahap peralihan dari masa di dalam kandungan menuju ke kehidupan di dunia.

Nilai religius tercermin dalam doa bersama yang dilakukan oleh kelompok kerabat perempuan, baik sebelum berangkat ke posuno maupun pada saat berlangsungnya upacara. Tujuannya adalah agar sang bayi mendapatkan perlindungan dari Upu Kuanahatana dan roh-roh para leluhur. (ali gufron)




Upacara  kematian adat maluku

Dalam kehidupan masyarakat Ternate, bila ada salah satu warga masyarakat yang meninggal dunia, biasanya dikabarkan dari mulut ke mulut kepada keluarga, saudara dan kerabat. Walau berita duka ini disebarluaskan dengan cara demikian, namun kabar tersebut sangat cepat tersiar ke seluruh kalangan, di tempat kerja, kantor, pasar, bahkan terhadap sanak family yang berada di tempat lain dan di pulau-pulau. Demikian pula setelah teknologi Cellular (HP) merambah dalam keseharian masyarakat Ternate, menjadikan semua informasi menjadi serba instan termasuk berita duka.
Setelah mendengar berita duka ini diketahui, warga masyarakat mulai berdatangan ke rumah duka, terutama wagra di kampong tersebut berbondong-bondong berkumpul. Kegiatan pertama yang biasanya dilakukan adalah menyiapkan tenda yang dalam bahasa Ternate disebut “Sabua” di depan dan di belakang rumah duka. Sementara warga yang lainnya menyiapkan liang kubur. Sedangkan kesibukan dalam rumah duka sendiri adalah menyiapkan kebutuhan untuk pemakaman seperti ; kain kafan, peralatan memandikan mayat, serta kebutuhan lain yang berhubungan dengan pemakaman.
Sementara itu, kaum ibu-ibu datang membawa sembako seadanya untuk disumbangkan ke rumah duka yang akan dijadikan bahan baku konsumsi, berupa; beras, terigu, gula pasir, teh, dsb. Kaum ibu-ibu biasanya saat datang mulai menyiapkan dan membentuk semacam dapur umum di belakang rumah duka, bahkan di rumah tetangga kiri dan kanan untuk menyiapkan makan semua pelayat yang datang pada saat itu untuk makan setelah selesai upacara pemakaman. Kegiatan ibu-ibu ini dikenal dengan tradisi “Lian” atau sering disebut “Lilian”. Tradisi Lian ini merupakan salah satu dari bentuk gotong-royong dalam masyarakat Ternate.

 

Sedangkan kaum bapak mempersiapkan semua kebutuhan pemakaman yang sudah menjadi “Fardu Kifayyah” bagi umat muslim yakni untuk memandikan mayat, mengkafani, men-sholat-kan lalu kemudian segera menguburkan jenazah secara layak menurut syariat Islam.

Biasanya sebelum dilakukan pemakaman, ada musyawarah keluarga untuk menentukan masih adakah kerabat almarhum terutama anak kandung yang harus ditunggu kehadirannya sebelum pemakaman dilaksanakan. Hal ini sering terjadi mengingat tidak semua anggota keluarga berada di Ternate saat menjelang wafat. Bila keputusannya harus ditunggu, maka upacara pemakaman akan ditunda beberapa jam, namun dalam musyawarah tersebut diputuskan untuk tidak menunggu, maka akan segera dilaksanakan pemakaman.

Sebelum jenazah dikeluarkan dari rumah duka, biasanya dilakukan semacam seremonial yang dipimpin oleh salah satu yang mewakili tuan rumah. Setelah memberikan sedikit kata pengantar, diharapkan kepada seluruh warga yang hadir pada saat itu untuk memberikan maaf kepada almarhum sekaligus mengikhlaskan utang-piutangnya semasa hidupnya.

Dalam masyarakat Ternate, setiap warga muslim yang meninggal dan hendak diarak menuju pemakaman biasanya diiringi dengan alunan “Laa ilaaha illallah hu laa ilaaha illallah, Laa ilaaha illallah Muhammadar Rasullullah ” yang diucapkan secara terus menerus oleh seruruh pelayat sejak dari rumah duka hingga sampai di lokasi liang kubur. Irama alunan ini-pun khas dan hanya dilantunkan pada saat mengantarkan mayat ke kubur. Kebiasaan ini oleh masyarakat Ternate disebut dengan “Kalmaha”. Bagi masyarakat Ternate, alunan dan irama Kalmaha ini merupakan suatu tanda berkabung, dan setiap orang yang mendengar Kalmaha pasti terharu, sedih bahkan banyak yang meneteskan air mata duka atas perginya sang kerabat untuk selamanya.

Pemakaman dilaksanakan sebagaimana biasanya orang muslim Indonesia melakukannya. Hanya saja ada kebiasaan tertentu yang mungkin berbeda dengan daerah lain di Indonesia ini. Contoh misalnya; setelah mayat diturunkan ke liang lahat, kain putih yang dijadikan seprei pada saat mayat ditandu dihamparkan menutupi ke permukaan liang lahat yang ditarik keempat ujung kain tersebut menutupi liang lahat, sehingga hampir tidak ada yang melihat aktifitas yang dilakukan oleh petugas dalam liang lahat. Ada satu kebiasaan lagi yaitu; setelah mayat diletakkan di dalam liang lahat, dan setelah tali pocong dilepaskan kemudian mayat yang terbaring dihadapkan menghadap kiblat, maka saat itu juga salah satu dari petugas yang berada di dalam liang lahat mengumandangkan azan dari awal hingga akhir.

Kalau ditanya mengapa demikian ? Mereka berargumen bahwa pada saat kita lahir ke dunia ini, suara yang pertama kali didengarkan di telinga kita adalah suara azan sehingga pada saat kita meninggal dunia dan hendak dikuburkan di liang lahat sebelum ditimbun dengan tanah, azan-pun harus dikumandangkan. Menurut mereka, hal ini mengandung makna bahwa kita manusia hidup di dunia ini berada diantara dua azan, yaitu azan awal dan azan akhir.

 

atu lagi tradisi lama masyarakat Ternate, adalah tali pocong tersebut dibawa pulang ke rumah duka, kemudian dipotong dan diikat seperti gelang di setiap tangan kerabat dekat almarhum, sebagai tanda duka. Tali pocong ini tidak bias dilepas kecuali nanti setelah “Hoi Gunyihi” yaitu setelah 11 hari meninggal. Tradisi dan kebiasaan tersebut saat ini sudah jarang dilakukan oleh masyarakat di kota Ternate, namun di daerah tertentu masih melakukannya.
Setalah upacara pemakaman selesai, seluruh pelayat kembali ke rumah duka untuk melaksanakan santap bersama dengan keluarga yang berduka yang sejak dari tadi disiapkan oleh kaum ibu-bu. Makna dari makan bersama ini adalah bertujuan menghibur keluarga yang berduka kare ditinggal almarhum.

Setelah itu, sebagian pelayat kembali ke rumahnya masing-masing, namun masih ada sebagian yang masih berkumpul di rumah duka untuk mempersiapkan kue-kue untuk konsumsi pada acara Tahlilan hari pertama pada menjelang malam hari nanti. Tahlilan terhadap kematian seseorang di dalam masyarakat Ternate dikenal dengan sebutan “Tahlil Sone ma-Dina”. Tahlilan malam pertama ini dikenal dengan “Sone ma-Dina – Futu Rimoi” (Tahlilan Malam ke-1). Inti dari tulisan ini adalah pembahasan tentang masalah ini. Sedangkan uraian tersebut di atas adalah pengantar dan gambaran tentang tradisi seputar saat hari kematian.

1 komentar: